Weebly

Weebly adalah website berbasis blog, yang digunakan untuk pendidikan maupun bidang lain

Moh.Hatta

Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia.

Kebudayaan Mesolitikum

Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman tersebut.

Kebudayaan Megalitikum

Disebut kebudayaan Megalitikum sebab semua alat yang dihasilkan berupa batu besar. Kebudayaan ini kelanjutan dari Neolitikum karena dibawa oleh bangsa Deutero Melayu yang datang di Nusantara.

Kebudayaan Paleolitikum

Sejak kira-kira dua setengah juta tahun yang lalu umat manusia sudah berkembang kearah makhluk yang berbudaya.

ASEAN

ASEAN (Association of Southeast Asian Nations)

Jumat, 02 Mei 2014

Kebudayaan Paleolitikum


Sejak kira-kira dua setengah juta tahun yang lalu umat manusia sudah berkembang kearah makhluk yang berbudaya. Bukti-bukti yang ditemukan dibeberapa tempat, misalnya di dekat danau Turkana, di Kenya, dan di Etiopia Selatan dan Jurang Olduvai, yang masih berupa peralatan dari batu yang amat kasar, menandai permulaan zaman Paleolitikum Tua.

Pada masa ini mulai muncul peralatan dari batu yang lebih dikenal dengan tradisi peralatan Oldowan. Karakteristik tradisi alat ini adalah bahwa ia merupakan alat penetak untuk segala keperluan, cara pembuatannya dengan menggunakan system benturan, yaitu memukuli bahan baku dengan batu lain atau memukulkan bahan baku tersebut pada batu besar untuk melepaskan kepingan-kepingannya. Meskipun dalam segi hasil alat penetak ini masih amat kasar, tapi tradisi alat oldowan ini merupakan kemajuan teknologi yang penting bagi Hominida Purba. Mereka bisa lebih mudah mencari bahan-bahan makanan disaat alam mulai berubah.

Tradisi oldowan ini juga menandai salah satu waktu bahwa sesuatu jenis makhluk beradaptasi secara cultural dan tidak secara fisik kepada kondisi lingkungan. Alat – alat oldowan ini banyak ditemukan di tepi danau atau sungai di tengah-tengah padang rumput, dan ditemukan masih dalam situs yang sangat kecil, dan juga bahwa nereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang masih berpindah-berpindah tempat. Adapun alat-alat zaman Peleolitikum Tua, termasuk tradisi peralatan oldowan banyak terdapat di jurang olduvai. Dalam perkembangan penetek oldowan berubah menjadi lebih canggih dan berkembang menjadi kapak genggam acheulean. Dalam periode ini mulailah terjadi diversivikasi kebudayaan peralatan, Homo Erectus tidak hanya membuat kapak genggam tapi juga menciptakan alat penyerut dan alat-alat kepingan, dan semua alat ini terbuat dari batu api. Keuntungan utama dari kemunculan alat ini adalah semakin banyak sumber daya alam yang dapat didayagunakan dalam waktu yang lebih singkat, dengan tenaga yang lebih sedikit, dan dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Dalam zaman Acheulean yang lebih mudah, di dunia barat dikembangkan dua tehnik pembuatan peralatan , yang menghasilkan kapak yang lebih tipis dan lebih canggih dengan bagian mata yang lebih lurus dan lebih tajam. Metode tongkat memanfaatkan pemukul dari tulang atau tanduk rusa untuk memukul tepi gumpala batu api, sedangkan metode bidang pukulan berfungsi untuk membuat kapak yang lebih tajam dan lebih tipis.

Peradaban Homo Erectus semakin berkembang dengan ditemukannya penggunaan api, karena bisa dipastikan dengan kemampuan mereka menggunakan api memungkinkan mereka untuk berpindah ke daerah-daerah yang lebih dingin. Transisi kebudayaan Hominida antara Homo Erectus dan Homo Sapiens tidak banyak brubah dari pendahulu mereka. Homo Sapiens Primitif tetap menggunakan tradisi peralatan acheulean sampai beberapa ribu tahun. Akan tetapi menjelang dua ratus ribu tahun yang lalu orang mulai menggunakan teknik Levalloision untuk membuat peralatan.


B. ZAMAN PALEOLITIKUM MADYA
Zaman Paleolitikum Madya ditandai oleh munculnya manusia Neanderthal. Di zaman ini muncul tradisi baru, trdisi Mousterian, yaitu trdisi pembuatan peralatan dari manusia Neanderthal di Eropa, Asia Barat Daya, dan Afika Utara, yang menghasilkan alat-alat kepingan yang lebih tipis daripada alat kepingan Levalloisian. Banyak situs Neandhertal yang menunjukan bahwa pada masa ini telah adanya kepercayaan dan upacara keagamaan, misalnya di goa Shanidar di Irak terdapat bukti bahwa adanya penguburan disertai dengan upacara kematian. Yang paling umum terdapat di situs-situs Mousterian adalah bukti mengenai pemujaan binatang, khusasnya pemujaan beruang gua. Situs-situs Mousterian yang menghasilkan sejumlah artifak yang bersifat lambang murni.

C. ZAMAN PALEOLITIKUM MUDA
Bukti –bukti arkeologis menunjukkan bahwa teknik pembuatan peralatan kebudayaan zaman Paleolitikum Muda di Eropa dan Asia barat merupakan perkembangan dari tradisi Mousterian yang sebelumnya. Peralatan meraka semakin berkembang dengan pesat,di zaman Paleolitikum Muda mereka telah menemukan panah, pelempar tombak dan pisau batu. Dua alat yang pertama memungkinkan mereka dalam hal penyempurnaan teknik perburuan dan mengurangi resiko bagi si pemburu saat berburu binatang buas.

Pada Paleolitikum Muda dikenal dua teknik untuk membuat peralatan, teknik pisau adalah teknik pembuatan alat batu dengan memukul lepas kepimgan –kepingan panjang secara paralel dari sisi sebuah gumpalan batu yang sudah dipersiapkan secara khusus, sedangkan teknik tekanan adalah teknik pembuatan alat batu dengan menggunakan alat tulang, tanduk rusa, atau kayu yang ditekan dan tidak dipukulkan untuk melepaskan kepingan –kepingan kecil –kecil dari sebuah batu api. Ada juga sebuah alat yang bernama pahat, yaitu alat alat batu yang bagian matanya menyerupai pahat, berfungsi untuk menggarap tulang, tanduk rusa dan sejenisnya . Kegunaan penemuan busur tidak hanya menyempurnakan teknik berburu saja, tapi busur juga bisa digunakan untuk membuat alat musik.

Pada masa ini kita tidak bisa hanya membahas tentang satu kebudayaan tuinggal saja, karena telah adanya penyebaran manusia purba keberbagai pelosok bumi,yang mana disetiap sisinya memiliki alam yang berbeda yang menimbulkan tradisi yang berbeda pula.

Kebudayaan Megalitikum

Disebut kebudayaan Megalitikum sebab semua alat yang dihasilkan berupa batu besar. Kebudayaan ini kelanjutan dari Neolitikum karena dibawa oleh bangsa Deutero Melayu yang datang di Nusantara. Kebudayaan ini berkembang bersama dengan kebudayaan logam di Indonesia, yakni kebudayaan Dongson. Ada beberapa alat dan bangunan yang dihasilkan pada zaman kebudayaan Megalitikum.

1) Menhir
Menhir adalah tiang tugu batu besar yang berfungsi sebagai tanda peringatan suatu peristiwa atau sebagai tempat pemujaan roh nenek moyang. Daerah penemuannya di Sumatra Selatan dan Kalimantan.

2) Dolmen
Dolmen adalah meja batu besar yang biasanya terletak di bawah menhir tempat meletakkan sesaji. Daerah temuannya di Sumba, Sumatra Selatan, dan Bondowoso (Jawa Timur).

3) Keranda (sarkofagus)
Keranda adalah peti mati yang dibuat dari batu. Bentuknya seperti lesung dan diberi tutup dari batu. Daerah temuannya di Bali.

4) Peti kubur batu
Peti kubur batu merupakan kuburan dalam tanah yang sisi-sisi, alas, dan tutupnya diberi papan dari lempeng batu. Peti kubur batu ini banyak ditemukan di Kuningan, Jawa Barat.

5) Punden berundak
Punden berundak merupakan bangunan dari batu yang disusun bertingkat-tingkat (berundak-undak). Fungsinya sebagai bangunan pemujaan roh nenek moyang yang kemudian menjadi bentuk awal bangunan candi. Bangunan punden berundak adalah bangunan asli Indonesia.

6) Waruga
Waruga adalah kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat. Waruga biasanya dibuat dari batu utuh. Daerah temuannya di Sulawesi Tengah dan Utara.

7) Arca
Arca-arca megalit merupakan bangunan batu besar berbentuk binatang atau manusia yang banyak ditemukan di dataran tinggi Pasemah, Sumatra Selatan yang menggambarkan sifat dinamis. Contohnya Batu Gajah, sebuah patung batu besar dengan gambaran seorang yang sedang menunggang binatang dan sedang berburu.

Pada zaman Batu Besar dikenal kebiasaan-kebiasaan berikut.

1) Pemujaan matahari
Di Indonesia, matahari dipuja sebagai matahari, bukan sebagai dewa matahari seperti di Jepang.

2) Pemujaan dewi kesuburan
Dapat kita lihat di candi Sukuh dan candi Ceto sebagai lambang kesuburan. Di Jawa, pada umumnya Dewi Sri dipuja sebagai dewi kesuburan dan pelindung padi.

3) Adanya keyakinan alat penolak bala (tumbal)
Biasanya dengan menanam kepala kerbau di tengah bangunan atau tempat tertentu, maka akan terlindungi dan terbebas dari marabahaya.

4) Adanya upacara ruwatan
Upacara ruwatan adalah upacara untuk mengembalikan orang atau masyarakat kepada kedudukan yang suci seperti semula, misalnya, anak tunggal, anak kembar, pandawa lima, dan bersih desa.

Kebudayaan Mesolithikum




Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup pada zaman tersebut sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum yang sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Untuk dapat mengetahui bentuk dari kapak Sumatera silahkan Anda amati gambar
1.5 berikut ini.

Gambar 1.5
Setelah Anda mengamati gambar 1.5 coba Anda bandingkan pebble dengan chopper maupun dengan flakes! Bagaimana menurut pendapat Anda?
Bentuk pebble seperti yang Anda lihat pada gambar 1.5 dapat dikatakan sudah agak sempurna dan buatannya agak halus. Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya dengan menggenggam.
Di samping kapak-kapak yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah, bahan cat merah yang dihaluskan berasal dari tanah merah.
Dari uraian tersebut tentu timbul suatu pertanyaan untuk apa fungsi cat merah?
Mengenai fungsi dari pemakaian cat merah tidak diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan bahwa cat merah dipergunakan untuk keperluan keagamaan atau untuk ilmu sihir.
Kecuali hasil-hasil kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa tulang belulang, pecahan tengkorak dan gigi, meskipun tulangtulang tersebut tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap, tetapi dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo Sapiens.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------


Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman Neolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk rusa.
Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Cul-ture/kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.
Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala.
Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang terbuat dari batu indah.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa zaman Mesolithikum sesungguhnya memiliki 3 corak kebudayaan yang terdiri dari:
a. Kebudayaan pebble/pebble culture di Sumatera Timur.
b. Kebudayaan tulang/bone culture di Sampung Ponorogo.
c. Kebudayaan flakes/flakes culture di Toala, Timor dan Rote.
Ciri-ciri
Kebudayaan

Lokasi
Penemuan

Alat-alat Kehidupan
Tokoh Peneliti
Kjokkenmonddiger
Sumatera Timur (Langsa-Medan)
Sampung
Pebble, kapak pendek, batu pipisan
Ujung mata panah, flakes, batu pipisan, alat-alat dari tulang
Dr. Van Stein Callenpels
Van Callenfels
Abris Sous Roche
Besuki, Bojonegoro, Lamoncong/Sulawesi Selatan
Timor dan Rote
Ujung mata panah, alat-alat tulang Pebble, kapak pendek. Alat-alat dari tulang dan kerang
Flakes, ujung mata panah
Van Heekeren
Frits Sarasin dan Paul Sarasin
Alfred Buhler

Tabel 1.4 Kebudayaan Mesolithikum

-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan Philipina.
Berdasarkan uraian materi di atas dapatlah disimpulkan:
.a. Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek serta alatalat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat.
.b. Kebudayaan flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur. Untuk lebih memahami penyebaran kebudayaan Mesolithikum ke Indonesia, maka simaklah gambar 1.6 peta penyebaran kebudayaan tersebut ke Indonesia.
penyebaran kebudayaan Mesolithikum ke Indonesia, maka simaklah gambar 1.6 peta penyebaran kebudayaan tersebut ke Indonesia.

Setelah mengamati gambar 1.6, sekarang coba Anda bandingkan peta jalur penyebaran kebudayaan Mesolithikum dengan peta penyebaran kebudayaan Plaeolithikum.
Dari uraian materi yang telah disajikan, maka tentu Anda dapat membandingkan penyebaran kebudayaan Mesolithikum lebih banyak dibandingkan dengan penyebaran kebudayaan Palaeolithikum. Dengan demikian masyarakat prasejarah selalu mengalami perkembangan. Pergantian zaman dari Mesolithikum ke zaman Neolithikum membuktikan bahwa kebudayaannya mengalami perkembangan dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks.