Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan
kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum
manusia yang hidup pada zaman tersebut sudah ada yang
menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum yang sangat
menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang
disebut dengan kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris
sous Roche.
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa
Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya
sampah jadi Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah
sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah
timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai
ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi
fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan disepanjang pantai
timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas
penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang
hidup pada zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V.
Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang
tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam
yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam
Palaeolithikum).
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang
tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera
(Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu
di pulau Sumatera.
Untuk dapat mengetahui bentuk dari kapak Sumatera silahkan
Anda amati gambar
1.5 berikut ini.
Gambar 1.5
Setelah Anda mengamati gambar 1.5 coba Anda bandingkan
pebble dengan chopper maupun dengan flakes! Bagaimana
menurut pendapat Anda?
Bentuk pebble seperti yang Anda lihat pada gambar 1.5
dapat dikatakan sudah agak sempurna dan buatannya agak
halus. Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari
batu kali yang dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan
dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan sejenis kapak
tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang disebut
dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara
penggunaannya dengan menggenggam.
Di samping kapak-kapak yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger
juga ditemukan pipisan (batu-batu penggiling beserta
landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan untuk
menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan
cat merah, bahan cat merah yang dihaluskan berasal dari
tanah merah.
Dari uraian tersebut tentu timbul suatu pertanyaan
untuk apa fungsi cat merah?
Mengenai fungsi dari pemakaian cat merah tidak diketahui
secara pasti, tetapi diperkirakan bahwa cat merah dipergunakan
untuk keperluan keagamaan atau untuk ilmu sihir.
Kecuali hasil-hasil kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger
juga ditemukan fosil manusia yang berupa tulang belulang,
pecahan tengkorak dan gigi, meskipun tulangtulang tersebut
tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap, tetapi
dari hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa manusia
yang hidup pada masa Mesolithikum adalah jenis Homo
Sapiens.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan
tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum
dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca
dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous
Roche dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun
1928-1931 di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Alat-alat yang ditemukan pada goa tersebut antara lain
alat-alat dari batu seperti ujung panah, flakes, batu
pipisan, kapak yang sudah diasah yang berasal dari zaman
Neolithikum, serta alat-alat dari tulang dan tanduk
rusa.
Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata
yang paling banyak adalah alat dari tulang sehingga
oleh para arkeolog disebut sebagai Sampung Bone Cul-ture/kebudayaan
tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung tidak ditemukan
Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari
kebudayaan Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous
Roche juga ditemukan di daerah Besuki dan Bojonegoro
Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan Bojonegoro
ini dilakukan oleh Van Heekeren.
Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous
Roche terutama di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae
yang di dalamnya ditemukan flakes, ujung mata panah
yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut
didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti
Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, suku Toala yang sampai
sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan langsung
penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu
kebudayaan Abris Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan
Toala.
Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous
Roche juga ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian
terhadap goa tersebut dilakukan oleh Alfred Buhler yang
di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang
terbuat dari batu indah.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa zaman
Mesolithikum sesungguhnya memiliki 3 corak kebudayaan
yang terdiri dari:
a. Kebudayaan pebble/pebble culture di Sumatera Timur.
b. Kebudayaan tulang/bone culture di Sampung Ponorogo.
c. Kebudayaan flakes/flakes culture di Toala, Timor
dan Rote.
Ciri-ciri
Kebudayaan
|
Lokasi
Penemuan
|
Alat-alat Kehidupan
|
Tokoh Peneliti
|
Kjokkenmonddiger
|
Sumatera Timur (Langsa-Medan)
Sampung
|
Pebble, kapak pendek, batu pipisan
Ujung mata panah, flakes, batu pipisan, alat-alat
dari tulang
|
Dr. Van Stein Callenpels
Van Callenfels
|
Abris Sous Roche
|
Besuki, Bojonegoro, Lamoncong/Sulawesi Selatan
Timor dan Rote
|
Ujung mata panah, alat-alat tulang Pebble,
kapak pendek. Alat-alat dari tulang dan kerang
Flakes, ujung mata panah
|
Van Heekeren
Frits Sarasin dan Paul Sarasin
Alfred Buhler
|
Tabel 1.4 Kebudayaan Mesolithikum
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan adanya keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide
di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan Mesolithikum,
maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap penyebaran
pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin
daerah asal bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan
tersebut, maka ditemukan pusat pebble dan kapak pendek
berasal dari pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh, di
Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan
flakes, sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan
flakes bahkan di pulau Luzon (Filipina) juga ditemukan
flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes berasal dari
daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa
dan Philipina.
Berdasarkan uraian materi di atas dapatlah disimpulkan:
.a. Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari
pebble, kapak pendek serta alatalat dari tulang masuk
ke Indonesia melalui jalur barat.
.b. Kebudayaan flakes masuk ke Indonesia melalui jalur
timur. Untuk lebih memahami penyebaran kebudayaan Mesolithikum
ke Indonesia, maka simaklah gambar 1.6 peta penyebaran
kebudayaan tersebut ke Indonesia.
penyebaran kebudayaan Mesolithikum ke Indonesia, maka
simaklah gambar 1.6 peta penyebaran kebudayaan tersebut
ke Indonesia.

Setelah mengamati gambar 1.6, sekarang coba Anda bandingkan
peta jalur penyebaran kebudayaan Mesolithikum dengan
peta penyebaran kebudayaan Plaeolithikum.
Dari uraian materi yang telah disajikan, maka tentu
Anda dapat membandingkan penyebaran kebudayaan Mesolithikum
lebih banyak dibandingkan dengan penyebaran kebudayaan
Palaeolithikum. Dengan demikian masyarakat prasejarah
selalu mengalami perkembangan. Pergantian zaman dari
Mesolithikum ke zaman Neolithikum membuktikan bahwa
kebudayaannya mengalami perkembangan dari tingkat sederhana
ke tingkat yang lebih kompleks.